ayat ini khusus untuk yahudi

Apakah ayat ini (al-maidah 44) bersifat khusus untuk ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau bersifat umum yang juga mencakup kaum muslimin?

Abdul qadir bin abdul aziz

Perkataan para sahabat dan tabi’in berbeda-beda dalam masalah ini dan terbagi menjadi dua pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ahlul kitab dan orang-orang kafir, (seperti perkataan Al Barroo’ bin ‘Aazib, Hudzaifah ibnul Yaman, Ibnu ‘Abbaas, Abu Mijlaz, Abu Rojaa’ Al ‘Athooridiy, ‘Ikrimah, Qotaadah, Adl Dlohaak, ‘Ubaidulloh bin ‘Abdulloh, Al Hasan Al Bashriy dan yang lainnya). Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut wajib bagi kaum muslimin (seperti yang dikatakan oleh Hudzaifah ibnul Yaman, Al Hasan Al Bashriy, Ibrohim An Nakh’iy, dan ‘Aamir Asy Sya’biy). Dan tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini bukan untuk kaum muslimin kecuali Abu Shoolih. Lihatlah perkataan Ibnu Katsiir yang telah kami sampaikan di depan dan perkataan Ath Thobariy dalam tafsirnya VI/252-255.

Dan telah saya jelaskan dalam kata pengantar ketiga bahwa perkataan para sahabat itu jika berbeda-beda tidak dapat dijadikan hujjah. Namun demikian kebenaran pasti berada pada salah satu perkataan mereka yang berbeda-beda tersebut dan kebenaran itu tidak akan keluar dari seluruh perkataan mereka sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar keempat. Dan untuk mengetahui mana yang benar di antara perkataan mereka maka harus dilakukan tarjiih (memilih mana yang lebih kuat) di antara perkataan yang bermacam-macam tersebut dengan berbagai faktor penguat yang bermacam-macam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar kelima. Dan pada kata pengantar ketiga dan kelima telah saya nukil perkataan Imam Maalik rh — tentang perselisihan sahabat — yang berbunyi: “… ada yang salah dan ada yang benar maka hendaknya kamu berijtihad.”

Dan setelah melakukan tarjiih maka kami dapatkan bahwa yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum yang masuk ke dalamnya kaum muslimin. Dan dalilnya adalah:

1.                  Sesungguhnya shiighoh (struktur kalimat) ayat ini berbentuk umum, karena menggunakan “man syarthiyah” (siapa yang berfungsi sebagai syarat).

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Alloh…”

Dan telah saya jelaskan pada kata pengantar keenam bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

“Pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh dan bukan berdasarkan sebab yang khusus”.

Berdasarkan ini maka sesungguhnya hukum yang terkandung dalam ayat ini:

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Mencakup dan berlaku kepada setiap:

مَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“Orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”

Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan lafadh “من ” (siapa) merupakan shiighoh (ungkapan) kalimat yang paling umum, terlebih lagi apabila berfungsi sebagai syarat atau kata tanya. Seperti firman Alloh:

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره

“Barangsiapa beramal baik seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya dan barangsiapa beramal buruk seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya”.

Dan seperti firmanNya:

أفمن زين له سوء عمله فرآه حسنا

“Apakah orang yang amalan buruknya dijadikan indah lalu dia memandangnya baik?”

(Majmuu’ Fataawaa XV/82 dan ini serupa dengan yang dalam XXIV/346). Dan oleh karena shiighoh (struktur kalimat) nya bersifat umum, maka Ibnul Qoyyim mengatakan tentang ayat ini: “Dan di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut untuk ahlul kitab yaitu pendapat Qotaadah, Adl Dlohaak dan yang lainnya. Dan pendapat ini jauh (kemungkinannya) dan tidak sesuai dengan dhohir lafadhnya oleh karena pendapat ini tidak benar.” (Madaarijul Saalikiin I/365 cet. I Daarul Kutub Al ‘Ilmiyah). Begitu pula Al Qoosimiy mengatakan dalam tafsirnya: “Dan demikian pula yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbaas bahwasanya ayat tersebut mengenai orang-orang Yahudi — khususnya Bani Quroidloh dan Bani Nadliir — namun tidak berarti ayat ini tidak mencakup selain mereka, karena pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh, bukan berdasarkan sebab yang khusus. Dan kata “من” (siapa) yang digunakan sebagai “syarath” maka bersifat umum.” (Mahaasinut Ta’wiil, karangan Al Qoosimiy VI/215, cet Daarul Fikri 1398 H). Dan ahli tafsir lainnya juga mengatakan hal yang serupa, seperti Abu Hayyaan Al Andalusiy di dalam Al Bahrul Muhiith III/492).

2.                  Dan di antara yang memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup kaum muslimin, adalah: bahwasanya Rosululloh SAW lah yang menjadi mukhoothob (lawan bicara/orang kedua) dalam ayat tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر

“Wahai Rosul, janganlah orang-orang yang bergegas dalam kekafiran itu membikin kamu sedih”. (ayat 41).

Dan firman Alloh Ta’aalaa:

فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ

“Jika mereka datang kepadamu maka putuskanlah perkara mereka atau berpalinglah dari mereka.” (ayat 42).

Dan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:

فَاحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ

“Maka putuskanlah perkara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Alloh dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka.” (ayat 48).

Ini semuanya khithoobnya ditujukan kepada Rosul kita SAW. Dan pada kenyataannya memang beliaulah yang memutuskan hukum terhadap peristiwa yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut, yaitu beliau menjatuhkan hukuman rajam kepada 2 orang yang berzina. Dan pada kata pengantar kesepuluh anda telah memahami bahwa khithoob Alloh yang ditujukan kepada Rosul SAW adalah khithoob untuk umatnya kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa ayat tersebut khusus untuk beliau. Padahal di sini tidak ada dalil yang menunjukkan khusus untuk beliau. Bahkan sesungguhnya perubahan dari shiighoh (struktur kalimat) dari bentuk tunggal (mufrod):

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ

“Wahai Rosul…”

Menjadi shiighoh (struktur kalimat) yang berbentuk jamak:

فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ … وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا

“Maka janganlah kalian takut kepada manusia…….dan janganlah kalian menukar ayat-ayat Ku dengan harga yang murah.

Hal ini memperkuat bahwa khithoob ini bersifat umum bagi umatnya. Dan pada kata pengantar tersebut saya nukil perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Pada asalnya khithoob untuk Nabi yang berupa perintah, larangan dan pembolehan itu berlaku untuk seluruh umatnya, seperti kesamaan umat beliau dengan beliau dalam hukum dan yang lainnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa khithoob tersebut khusus untuk beliau. Maka hukum yang berlaku untuk beliau berlaku pula untuk umat Islam apabila hukum tersebut tidak dikhususkan untuk beliau. Inilah madzhab (pendapat) salaf dan para fuqohaa’.” (Majmuu’ Fataawaa XV/82).

3.                  Dan di antara yang memperkuat bahwa para penguasa hari ini yang mengaku Islam dan menjalankan hukum dengan selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka masuk ke dalam keumuman hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut, karena kondisi mereka persis dengan kondisi orang-orang yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir: “Ayat-ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran, yang keluar dari ketaatan kepada Alloh dan RosulNya, yang lebih mengedepankan pikiran dan hawa nafsu mereka dari pada syariat-syariat Alloh ‘Azza wa Jalla — sampai perkataannya — Dan yang benar bahwa ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan 2 orang Yahudi yang berzina, sedangkan mereka telah merubah kitab Alloh yang berada pada mereka yang berupa perintah merajam orang muhshon (yang pernah menikah) yang berzina di antara mereka, lalu mereka rubahnya.” (Tafsiir Ibnu Katsiir II/58). Maka kondisi yang terjadi pada hari ini sama persis dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Dan telah saya terangkan dalam kata pengantar ketujuh bahwa kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat itu masuk dalam konteks ayat secara qoth’iy (pasti). Dan As Suyuuthiy menyatakan ijma’ tentang ini dalam Al Itqoon I/28. Oleh karena itu dalam Ahkaamul Qur-aan, Ismail Al Qoodliy setelah menceritakan perselisihan masalah ini mengatakan: “Secara dhohir ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan, dia membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, dan dia menjadikannya sebagai diin (ajaran) yang dijalankan, maka dia mendapatkan apa yang mereka dapatkan yang berupa ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut baik dia sebagai seorang hakim (penguasa) atau yang lainnya.” (Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baariy XIII/120 dan dinukil oleh Al Qoosimiy dalam Mahaasinut Ta’wiil VI/216). Dan apa yang dikatakan oleh Isma’il Al Qoodliy sama persis dengan apa yang dilakukan oleh para penguasa hari ini. Mereka menjalankan hukum buatan yang mereka jadikan sebagai diin (ajaran) yang diberlakukan artinya adalah dijadikan peraturan yang harus dipatuhi sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar pertama tentang pengertian diin. Dan tidak ada pengaruhnya dalam hal ini apakah para penguasa tersebut yang membuat hukum buatan tersebut atau mereka mewarisinya dari pendahulu mereka. Karena orang-orang Yahudi yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut bukanlah yang membuat ketentuan hukum yang menyelisihi hukum Alloh tersebut, akan tetapi mereka mewarisinya dari para pendahulu mereka. Maka kondisinya juga sama dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat, sebagaimana yang ditunjukkan hadits-hadits yang menerangkan tentang sebab turunnya ayat tersebut khususnya hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dari Abu Huroiroh tentang sebab turunnya ayat ini. Selain itu sesungguhnya komitmen para penguasa tersebut dengan undang-undang tersebut dalam menentukan hukum dan mereka mewajibkan orang lain untuk mematuhi berlakunya undang-undang tersebut di negara mereka menunjukkan kerelaan mereka terhadap undang-undang tersebut. Sehingga status mereka sama dengan orang yang membuatnya dalam hukum Islam. Karena komitmen dengan kekafiran adalah kekafiran, memerintahkan orang lain untuk melakukan kekafiran adalah kekafiran dan rela dengan kekafiran adalah kekafiran.

ظلمات بعضها فوق بعض

“Berbagai kegelapan yang sebagian di atas sebagian yang lain”.

4.                  Sesungguhnya tidak seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin, akan tetapi maksimal sebagian mereka hanya mengatakan mengatakan: Sesungguhnya ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Dan perkataan seperti ini bukanlah merupakan takhshiish (pengkhususan) atau pembatasan nash yang umum hanya untuk suatu sebab ayat yang khusus tersebut. Dan perkataan sahabat ini hanyalah menjelaskan tentang sebab turunnya ayat sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kedelapan. Dan Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Sesungguhnya (meskipun) para sahabat mengatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan sesuatu, namun mereka tidak berselisih pendapat bahwa nash dari ayat tersebut mencakup juga hal-hal yang tidak menjadi sebab turunnya ayat selama hal tersebut masih dalam cakupan lafadhnya.” (Majmuu’ Fataawaa XXXV/28-29). Dan tidak sama antara orang yang mengatakan: Ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab, dan antara orang yang mengatakan: Bahwa ayat tersebut tidak berkenaan dengan kaum muslimin. Kata-kata yang terakhir ini tidak ada riwayat dari sahabat, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa tabi’in. Dan perkataan ini salah berdasarkan dalil-dalil yang telah saya sampaikan. Dan juga karena perkataan sahabat itu tidak dapat mengkhususkan keumuman lafadh Al Qur’an terlebih lagi jika bertentangan, sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kesebelas. Apalagi perkataan tabi’in, lebih tidak dapat mengkhususkan.

5.                  Dan kalaupun ayat ini dikatakan turun berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab, namun sesungguhnya ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut berlaku untuk kaum muslimin. Hal itu berdasarkan sabda Rosululloh SAW:

لتتبعن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم. قالوا: يا رسول الله اليهود والنصارى؟ قال صلى الله عليه وسلم: فمن؟

“Kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, sampai hingga mereka masuk ke lobang biawakpun kalian mengikuti mereka. Para sahabat bertanya:”Wahai Rosululloh, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab:”Siapa lagi?” (Hadits ini Muttafaqun ‘Alaih).

Dan inilah yang dimaksud dalam atsar dari Hudzaifah ibnul Yamaan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dengan sanadnya dari Abul Bukhtariy, ia mengatakan: “Ada seseorang yang bertanya kepada Hudzaifah tentang orang-orang yang dimaksud dalam ayat-ayat:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظالمون

“Maka mereka adalah orang-orang dholim”.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الفاسقون

“Maka mereka adalah orang-orang fasiq”.

Orang tersebut bertanya: “Ada yang mengatakan bahwa hal itu mengenai Bani Isroil?” Hudzaifah menjawab: “Saudara kalian yang paling baik adalah Bani Isroil, karena semua yang pahit untuk mereka sedangkan semua yang manis untuk kalian. Sekali-kali tidak, demi Alloh, kalian benar-benar akan menempuh jalan mereka sebagaimana sandal.” (Tafsiir Ath Thobariy VI/253). Demikianlah, selain itu saya telah sebutkan pada kata pengantar kesembilan dalil-dalil atas bolehnya berdalil dengan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan orang-orang kafir untuk kaum muslimin selama masih dalam cakupan keumuman lafadh. Di sana saya sebutkan tujuh dalil kemudian saya sebutkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Sesungguhnya Alloh menceritakan kepada kita cerita-cerita umat-umat yang sebelum kita supaya menjadi pelajaran untuk kita. Lalu kita mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka dan kita qiyaskan umat yang belakangan dengan umat yang terdahulu. Sehingga orang-orang mukmin yang belakangan mirip dengan orang mukmin yang terdahulu dan orang kafir dan munafiq yang belakangan mirip dengan orang kafir dan munafiq yang terdahulu.” (Majmuu’ Fataawaa XXVIII/425).

6.                  Dan kalau pun juga dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Alloh berfirman:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر — الى — وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا

“Wahai Rosul, janganlah membikin kamu sedih orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran — sampai — dari kalangan orang-orang Yahudi”.

Sesungguhnya الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) adalah laqob (julukan) sedangkan mafhuum mukhoolafah pada laqob tidak dapat dijadikan hujjah. Artinya apabila ayat-ayat tersebut menetapkan suatu hukum terhadap laqob ini الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) maka mafhuum mukhoolafah laqob tidak bisa dijadikan hujjah. Dengan demikian berarti hukum yang khusus untuk orang-orang Yahudi itu tidak mesti tidak berlaku untuk orang selain mereka. Dan hukum tersebut adalah hukum yang disebutkan dalam firmanNya:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Dan tidak bisanya mafhuum mukhoolafah untuk dijadikan hujjah ini merupakan bantahan terhadap orang yang menganggap hukum ini khusus untuk ahlul kitab. Lihat pembahasan mafhuum mukhoolafah laqob dalam buku Al Ihkaam Fii Ushuulil Ahkaam, karangan Al Aamidiy III/104 dan Irsyaadul Fuhuul karangan Asy Syaukaaniy hal. 166-169.

7.                  Dan kalaupun juga dikatakan bahwa ayat ini mengenai ahlul kitab, maka sesungguhnya seluruh salaf dan jumhuur (mayoritas) fuqohaa’ berpendapat bahwa syariat umat-umat sebelum kita berlaku untuk kita jika diriwayatkan dengan riwayat yang bisa dipercaya dan dalam syariat kita tidak ada yang menyelisihinya. Dan unsur-unsur ini terpenuhi dalam hukum yang terdapat dalam ayat tersebut. Dan masalah ini telah saya bahas pada akhir Pembahasan I’tiqood ketika mengkritik buku Ar Risaalah Al Liimaaniyah yang saya nukil dari Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah I/258, XIX/7 dan Iqtidloo-u Shiroothil Mustaqiim, karangan Ibnu Taimiyyah hal. 167-169 cet. Al Madaniy.

Maka apabila yang menjadi kewajiban ahlul kitab itu merupakan syariat bagi kita, maka ini termasuk juga yang menunjukkan atas keumuman nash ini.

Wa ba’du, inilah tujuh hal yang semuanya menunjukkan bahwa firman Alloh Ta’aalaa:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka  mereka adalah orang-orang kafir”.

… merupakan nash yang umum yang mencakup juga kaum muslimin. Dan setiap orang yang melakukan hal yang menjadi sebab hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut:

لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ

“tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”

… maka dia pasti mendapatkan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut.

فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Mereka adalah orang-orang kafir”.

Dari situ kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab itu adalah berfungsi sebagai penjelasan tentang sebab turunnya ayat dan bukan yang lainnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin maka ini secara qoth’iy salah sebagaimana yang telah saya jelaskan.

5 responses to this post.

  1. assalamu’alaykum
    saya minta kitab syaikh abdul qodir bin abdul aziz yg terjemahan. tolong krimkan semuanya yang antum punya… ke email: z9999990101@gmail.com

    Balas

  2. INSHA ALLAH KATA “KAFIR” DALAM SURAT AL MAIDAH 44 BERMAKNA KUFUR AKBAR DAN BUKAN KUFRUN DUUNA KUFRIN

    AL MAIDAH 44

    Allah berfirman:

    الْكَافِرُونَ هُمُ فَأُولَئِكَ اللَّهُ أَنْزَلَ بِمَا يَحْكُمْ لَمْ وَمَنْ

    “Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah (syari’at islam), mereka itulah orang-orang kafir.”
    (Al Maidah 44)

    Ayat di atas menjelaskan tentang siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum islam dan menggunakan undang-undang buatan manusia, maka mereka tergolong orang-orang kafir.

    Adapun sababun nuzul (sebab turun) ayat di atas yaitu:

    “Bahwasanya didatangkan kepada Rasulullah SAW sepasang laki-laki dan perempuan Yahudi berzina, lalu Rasulullah SAW pergi sampai datang orang-orang Yahudi. Beliau bertanya kepada mereka: ‘Apa hukuman dalam Taurat bagi orang yang berzina?’ Mereka menjawab: ‘Kami hitamkan kedua wajahnya dan kami arak-arak keliling kota.’ Rasulullah SAW berkata: ’Datangkan Taurat padaku dan bacalah jika kalian benar.’ Orang-orang Yahudi pun membawa Taurat, salah seorang pemuda membacanya. Ketika sampai pada ayat rajam, pemuda itu meletakkan tangannya (untuk menutupi ayat rajam). Abdullah bin Salam berkata padanya: ’Suruh dia mengangkat tangannya!’ Maka pemuda itu mengangkat tangannya dan terdapat ayat rajam, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajam kedua pezina itu, sehingga mereka dirajam. Abdullah bin Umar berkata: ’Aku termasuk orang yang ikut merajam dan aku lihat laki-laki itu melindungi perempuan itu dengan tubuhnya.’ ”
    (Riwayat Imam Muslim)

    Ibnu Umar mengatakan:
    “Orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW, mereka menceritakan ada sepasang laki-laki dan perempuan Yahudi berzina. Rasulullah bertanya: ‘Apa yang kalian dapati di Taurat tentang rajam?’ Mereka menjawab: ‘Kami cambuki dan pertontonkan mereka.’ Abdullah bin Salam berkata: ‘Kalian dusta! Sesungguhnya Taurat menyebut hukum rajam.’ Lalu mereka mendatangkan Taurat dan salah satu dari mereka membacanya dan menutupi ayat rajam dengan tangannya. Abdullah bin Salam berkata: ’Angkat tanganmu!’ Setelah tangannya diangkat, mereka berkata: ’Benar wahai Muhammad. Di dalamnya ada ayat rajam.’ Maka Rasulullah memerintahkan untuk merajam kedua pezina itu. Saya melihat laki-laki itu memiringkan badannya untuk melindungi sang perempuan dari lemparan batu.”
    (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    ”Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas: ’Bahwasanya ayat-ayat ini turun berkenaan dengan dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana disebutkan dalam hadist-hadist di depan. Dan bisa jadi dua peristiwa itu terjadi secara bersamaan dalam satu waktu, lalu ayat ini turun dengan semua peristiwa tersebut.’”
    (Ibnu Katsir, dalam Umdadut Tafsir IV/148-155)

    APAKAH KATA KAFIR DALAM AYAT TERSEBUT ADALAH KUFUR AKBAR ATAU KUFRUN DUUNA KUFRIN (KEKAFIRAN YANG TIDAK MEMURTADKAN PELAKUNYA DARI ISLAM)?

    A. Yang berpendapat bahwa ini adalah kufrun duuna kufrin:

    1. Telah mengabarkan kepada kami Hannad dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Waki’ dan telah mengabarkan kepada kami lbnu Waki’ bahwasanya dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami bapakku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rosyid dari lbnu Thowus dari bapaknya dari lbnu Abbas rodhiallahu anhu (tentang ayat) … Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma‘idah : 44), dia berkata: “ini adalah kekufuran dan bukan kufur kepada Alloh, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, dan para rosul-Nya.”
    (Tafsir At Thabari, 6/256)

    2. Telah mengabarkan kepadaku Mutsanna dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Abdulloh bin Sholih dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abu Tholhah dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma tentang firman Allah … Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Ma ‘idah : 44); (lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu berkata): “Barangsiapa yang juhud (mengingkari) apa yang diturunkan oleh Alloh maka sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang mengakui apa yang diturunkan oleh Alloh dan tidak berhukum dengannya maka dia zholim lagi fasik.”
    (Tafsir At Thabari, 6/257)

    3. Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman al-Mushili dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Harb dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari lbnu Abbas RodhiYallahu anhu dia berkata: “Dia bukanlah kekufuran yang kalian [2] katakan, sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. (Ayat yang artinya:) …. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orangorang yang kafir (Al-Ma ‘idah (51:44). ini adalah kufur duna kufrin.”
    (Hakim, dalam Al- Mustadrak, 2/324)

    4. Atho’ bin Abu Robah, seorang tabi’in, menyebut ayat 44-46 surat al-Ma’idah, dan berkata: “Kufrun duna kufrin (kufur kecil), fisqun duna fisqin (fasik kecil), dan zhulmun duna zhulmin (dzolim kecil)”
    (Diriwayatkan oleh lbnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shohihah 6/114)

    5. Thowus bin Kaisan, salah seorang tabi’in, menyebut ayat hukum dan berkata:”Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama.”
    (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam SilsiIah Shohihah 6/114)

    6. Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum,
    maka beliau berkata : “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dan keimanan.”
    (Majmu’ Fatawa 7/254)

    7. Imam Bayhaqi berkata: “Yang kami riwayatkan dari al-Imam Syafi’i dan para imam yang lainnya tentang para ahli bid’ah ini mereka maksudkan kufur duna kufrin (kufur kecil) sebagaimana dalam firman Alloh.

    “Artinya : ..Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(AI-Ma’idah : 44); lbnu Abbas Rodhiallahu anhumas berkata : Dia bukanlah kekufuran yang kalian (para Khowarij) katakan, sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. Ini adalah kufur duna kufrin.”
    (Sunan Kubra, 10/207)

    8. Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Telah datang dari lbnu Abbas Rodhiallahu anhuma bahwasanya dia berkata tentang hukum penguasa yang lancung, kufrun duna kufrin.”
    (At-Tamhid, 4/237)

    9. Al-Imam Qurthubi berkata: ”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh karena menolak al-Qur’an dan juhud (mengingkari) pada perkataan Rosul Shallallahu alaihi wa sallam maka dia kafir, ini adalah perkataan Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhuma dan Mujahid.”
    (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 6/190)

    10). Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah menafsirkan ayat hukum di atas dengan mengatakan: “Yaitu seorang yang menghalalkan berhukum dengan selain hukum Alloh.”
    (Majmu’ Fatawa, 3/268)

    B. Yang mengatakan bahwa ini adalah kufur akbar:

    1. Masruq berkata:
    “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang harta haram, apakah it termasuk suap dalam memutuskan perkara (pengadilan). Ia menjawab: ‘Bukankah barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah maka dia kafir? Akan tetapi harta haram itu adalah seseorang meminta bantuan kepadamu untuk suatu kedzaliman lalu kamu bantu dia, dan dia memberi hadiah kepadamu.’ “
    (Tafsir At Thabari, 4/240)

    Dalam tafsir di atas, Ibnu mas’ud menyebut kata “kafir” tanap diikuti “…duuna kufrin”. Maka kata kafir pada ayat tersebut mengandung makna kafir yang hakiki (kafir akbar).

    2. Ibnu Mas’ud berkata:
    “Menyuap dalam memutuskan hukum adalah kekafiran. Dan dia di kalangan manusia adalah harta haram.”
    (Thabrany, dalam kitab Az Zawaajir, 2/189, karya Ibnu Hajar Al Wakki)

    Kata ”kafir” di atas pun tidak diikuti oleh ”…duuna kufrin”. Ini berarti kafir akbar.

    3. Masruq berkata:
    ”Aku bertanya kepada Umar bin Khattab: ’Apa pendapatmu tentang menyuap dalam memutuskan perkara, apa ia termasuk harta haram?’ Umar menjawab: ’Bukan! Itu adalah kekafiran. Sesungguhnya harta haram itu adalah seseorang memiliki kedudukan di sisi penguasa, dan seseorang lagi memiliki kebutuhan terhadap penguasa tersebut, kemudian orang tersebut tak memenuhi kebutuhannya sehingga dia memberi hadiah.’ ”
    (Tafsir Ruhul Ma’aniy, 3/140)

    Umar bin Khattab mengatakan bahwa menyuap dalam memutuskan perkara adalah kekafiran; benar-benar kafir dan bukan kufrun duuna kufrin.

    4. Abad bin Humaid meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia ditanya tentang harta haram. Ali menjawab:
    ”Harta haram adalah harta suap.” Lalu dia ditanya bagaimana dalam memutuskan perkara, Ali menjawab: ”Itu kekafiran.”
    (Tafsir Ruhul Ma’aniy, 3/140)

    Serupa dengan perkataan Umar, maka Ali pun mengatakan bahwa memutuskan perkara dengan tidak menurut syari’at (yakni menyuap untuk merubah hukum) adalah kekafiran hakiki tanpa ”…duuna kufrin”.

    5. Ibnu Qudamah berkata:
    Hassan Al Bashri dan Sa’id bin Jubair ketika menafsirkan ayat ”Mereka banyak makan harta haram” (Al Ma’idah 42), mereka berdua berkata: ”Penyuapan.” Mereka mengatakan: ”Jika seorang hakim menerima suap, maka ini sampai pada tingkat kekafiran.”
    (Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir, 11/437-438)

    Hassan Al Bashri dan Sa’id Ibnu Jubair dari kalangan tabi’in pun mengatakan bahwa hakim yang menerima suap lalu merubah hukum dari yang semestinya, maka ia kafir tanap ”…kufrun duuna kufrin”.

    6. Al Qasimy berkata:
    Dinukil dari buku Al Lubab dari Ibnu Mas’ud, Hassan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i, mereka berkata: ”Sesungguhnya ketiga ayat tersebut (Al Maidah 44, 45, 47) bersifat umum berkenaan umat Yahudi dan Islam. Maka setiap orang yang menerima suap lalu merubah keputusan dan memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Allah, maka dia kafir, zhalim, dan fasik. As Suddiy pun berpendapat seperti itu karena ayat itu secara zhahir menunjukkan seperti itu.”
    (Mahasinut Ta’wil, 6/215)

    Dari kalangan tabi’in, Hassan Al Bashri, Ibrahim An Nakhai dan As Suddiy pun tidak mengatakan kufrun duuna kufrin, tapi ”kafir” yang berarti kafir akbar.

    7. Imam At Thabari meriwayatkan, Imam As Suddiy berkata:
    “Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah (syari’at islam), mereka itulah orang-orang kafir.”
    (Al Maidah 44)

    Allah berfirman: “Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang Aku turunkan dengan sengaja dan dia berlaku zhalim sedangkan dia mengetahui, maka dia termasuk orang kafir.”
    (Tafsir At Thabari, 6/257)

    8. Ibnu Katsir berkata:
    “Barangsiapa meninggalkan syari’at yang telah jelas diturunkan kepada Muhammad dan berhukum kepada syri’at-syari’at lain yang telah dihapus, maka dia kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Ilyasiq dan mendahulukannya atas syari’at Muhammad? Siapapun yang melakukan ini, dia kafir berdasarkan ijma ulama.”
    (Al Bidayah Wan Nihayah, 13/119)

    Hujjah-hujjah di atas adalah perkataan sahabat (Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib) dan tabi’in (Hassan Al Bashri, Ibrahim An Nakhai, A Suddiy, dan Sa’id bin Jubair). Mereka semua mengatakan bahwa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah adalah “kafir akbar” sesuai dengan zhahir ayat tersebut tanpa di ikuti “…kufrun duuna kufrin”.

    Dengan demikian, ada dua kubu:

    1. Yang mengatakan itu adalah kufur akbar (Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, Hassan Al Bashri, Ibrahim An Nakhai, A Suddiy, dan Sa’id bin Jubair)
    2. Yang mengatakan itu adalah kufrun duuna kufrin (Imam At Thabari, Ibnu Taimiyah, Imam Bayhaqi, Imam Al Qurthubi, dll.)

    PEMBAHASAN TENTANG CACATNYA ATSAR YANG MERIWAYATKAN KUFRUN DUUNA KUFRIN

    1. Yang diriwayatkan oleh At Thabari adalah perkataan Ibnu Thawus dan tak bisa dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, dalilnya yaitu:

    Dari Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, ia mengatakan: Ibnu Abbas ditanya tentang ayat: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang kafir” (Al Maidah 44), ia menjawab: “Ini adalah kekafiran.” Ibnu Thawus berkata: “Dan tidak seperti orang yang kafir kepada Allah, malikat-Nya, kitab-Nya, dan rasul-Nya”
    (Tafsir At Thabary, 6/256)

    Dari atsar di atas jelaslah bahwa Ibnu Abbas (sahabat) berkata “kekafiran”, sedangkan kufrun duuna kufrin adalah perkataan Ibnu Thawus. Adapun sanad atsar di atas yaitu:

    Ibnu Abbas,
    Thawus bin Kaisan,
    Ibnu Thawus,
    Ma’mar bin Rasyid,
    Abdur Razzaq,
    Waki,
    Ibnu Waki,
    Hannad,
    Ibnu Jarir At Thabari.

    2. Yang diriwayatkan Imam Hakim, yaitu:

    Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman al-Mushili dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Harb dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari lbnu Abbas RodhiYallahu anhu dia berkata: “Dia bukanlah kekufuran yang kalian [2] katakan, sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. (Ayat yang artinya:) …. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orangorang yang kafir (Al-Ma ‘idah (51:44). ini adalah kufur duna kufrin.”
    (Hakim, dalam Al- Mustadrak, 2/324)

    Sanad atsar tersebut adalah:

    Ibnu Abbas,
    Thawus bin Kaisan,
    Hisyam bin Hujair,
    Sufyan bin Uyainah,
    Ali bin Harb,
    Ahmad bin Sulaiman,
    Hakim

    Atsar yang diriwayatkan Hakim tersebut dha’if dari sisi sanadnya. Di dalamnya terdapat Hisyam bin Hujair yang dha’if menurut Imam Ahmad, Yahya bin Sa’id, Al Uqaili (lihat Adh Dhu’afa 4/337-338, Al Kamil 7/2569, Tahdzib Al Kamal 30/179-180, dan Hadyu As Saari 447-448).

    Ali Al Madini berkata: ”Aku membaca hadist di depan Yahya bin Sa’id; ‘Telah memberitakan kepadaku Ibnu Juraij dari Hisyam bin Hujair.’ Yahya bin Sa’id berkata; ’Hisyam bin Hujair pantas unutk aku tinggalkan.’ Aku bertanya; ’ Haruskah aku menghindari hadistnya?’ Yahya bin Sa’id menjawab; ’Ya!’ .”

    Ibnu Hajar berkata mengenai Hisyam bin Hujair: ”Dia shaduq, memiliki hal-hal yang meragukan.”

    Ahmad bin Hambal berkata: ”Hisyam bukan orang yang kuat.”

    Sufyan bin Uyainah berkata: “Kami tidak mengambil hadist Hisyam bin Hujair selain dari apa yang tidak kami dapatkan pada selainnya.”

    Abu Hatim berkata tentang Hisyam: “Hadistnya ditulis!” Tapi ini adalah sindiran untuk orang yang dianggap tamridh (sakit) dan tadh’if (lemah).

    Imam Bukhari pun hanya meriwayatkan satu hadist dari jalur Hisyam bin Hujair, yaitu hadist tentang Sulaiman bin Daud yang berbunyi:
    “Pada malam ini saya akan menggilir 90 perempuan,” ini dikarenakan hadist Hisyam memiliki mutaba’ah (penguat) yang juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Thawus.

    SETELAH MENGETAHUI BAHWA ATSAR YANG DI RIWAYATKAN OLEH ATH THABARI DAN AL HAKIM (KUFRUN DUUNA KUFRIN) ADALAH LEMAH, LANTAS APA LAGI YANG MEMPERKUAT HUJJAH TENTANG MAKNA KUFUR AKBAR DALAM AYAT AL MAIDAH 44?

    Sudah kita ketahui dari pembahasan di atas bahwa ada dua kubu:

    1. Yang mengatakan itu adalah kufur akbar (Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, Hassan Al Bashri, Ibrahim An Nakhai, A Suddiy, dan Sa’id bin Jubair)
    2. Yang mengatakan itu adalah kufrun duuna kufrin (Imam At Thabari, Ibnu Taimiyah, Imam Bayhaqi, Imam Al Qurthubi, dll.)

    Maka Ibnu Taimiyah berkata mengenai perselisihan yang terjadi di antara tabi’in mengenai perbedaan tafsir, beliau berkata:
    “Jika mereka (tabi’in) berselisih pendapat, maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan hujjah terhadap sebagian yang lain, dan juga terhadap orang-orang setelah mereka. Semua itu dikembalikan kepada bahasa Al Qur’an atau Sunnah atau bahasa Arab secara umum atau kembalikan pada perkataan sahabat mengenai masalah tersebut.”
    (Majmu Fatawa, 13/370)

    Maka jelaslah bahwa kata kafir dalam ayat tersebut adalah kufur akbar sesuai dengan perkataan sahabat yakni Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, dan tabi’in yakni Hassan Al Bashri, dll.

    Maka jelaslah pula bahwa Ibnu Taimiyah menganjurkan agar kita memahami kata “kafir” dalam Al Maidah 44 berupa kufur akbar. Karena dalam bahasa Arab kata kafir berarti murtad, keluar dari islam, atau bukan islam.

    Hal ini pun deiperkuat oleh kebiasaan sang pembuat syari’at (Allah SWT), yang mana apabila Dia menjelaskan suatu hokum dalam Al Quran (halal, haram, kafir, syirik, dsb.) maka makna kata tersebut adalah makna mutlak (hakiki) yang sebenarnya.

    Simaklah perkataan Ibnu Hajar berikut:
    ”Menurut kebiasaan pembuat syari’at, apabila kata syirik diungkapkan secara lepas, maka yang dimaksud adalah kebalikan tauhid. Dan lafazh ini disebut berulang-ulang dalam Al Quran dn sunnah yang tidak memiliki pengertian kecuali sebagaimana pengertian tersebut.”
    (Fathul Bari, 1/65)

    Baik Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz (Sayyid Imam/Dr. Fadhl) maupun Sulaiman bin Nashr Al Ulwan mengatakan bahwa apabila kata ”kufur” ditulis dalam bentuk ma’rifah dengan huruf alif dan lam, maka maknanya adalah kufur akbar.

    Demikianlah penafsiran yang (insha Allah) benar mengenai surat Al Maidah 44 sebagai bantahan terhadap kufrun duuna kufrin. Adapun kesalahan tulisan di atas berasal dari kami dan setan. Hanya kepada Allah kami memohon petunjuk.

    Allah Ta’ala knows best….

    Balas

  3. Alhamdulillah… Semoga ini menjadi penjelas dari syubhat yang sering dilontarkan para ikhwan-ikhwan “paling benar” dari kalangan Talafiyun…

    Balas

  4. Posted by max on 27/05/2009 at 03:44

    Tolong dicantumakan terjemahan dari kitab apa, hal berapa & juga jilid berapa?

    Balas

    • Posted by abufathiyyah on 29/05/2009 at 05:55

      artikel ini kalo dikitab aslinya al-jamie’ fi thalabul ilmi asy- syarif jilid 2 hal 962 – 964. ini terjemahan abu musa ath-thoyyar.

      Balas

Tinggalkan komentar